JAKARTA – Pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menyatakan sikap akrab antara dua mantan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menunjukkan semakin eratnya persahabatan kedua tokoh tersebut.
Mereka tampak duduk di sebelah kanan kiri dan berbicara lembut saat acara di Balai Kota DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Harapan hubungan Anies-Ahok dapat menular ke pendukungnya.
Menurut dia, harmonisnya pendukung Anies dan Ahok dapat menjadi kekuatan untuk membantu Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, Pramono-Rano, dalam membangun kota Jakarta.
Pramono mengibaratkan Nama, Ahok, dan Tommy sebagai filosofi demokrasi yang harus dipilih. Dia membuka peleraan pemilihan waktu Quick Count di pilkada DKI berdampingan dengan pemilu kemarin.
Hal itu akan memudahkan Pramono-Rano mewujudkan janji-janji politiknya saat masa kampanye bagi Pilkada 2024.
Jamiluddin menduga, keduanya mungkin bersedia memberikan dukungan yang utuh kepada Pramono-Rano untuk menjalankan tugasnya sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
“Dampaknya akan berbeda apabila disampaikan secara bersamaan,” ucap dia.
Selain itu, Anies dan Ahok tampaknya akan memberikan pidato politik bersama. Pidato politik itu mungkin akan berisikan respon mereka terhadap persoalan berbangsa dan bernegara.
43% Warga Jakarta Tidak Mengikuti Pilgub Jakarta 2024, Paling Banyak Saat Anies vs DPD
Di antaranya terkait dengan Pilkada melalui DPRD, kembali ke UUD 1945, PPN 12 persen, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan penanganan pelanggaran HAM.
“Maka, Anies dan Ahok bisa menyampaikan hal-hal yang spesifik terkait Joko Widodo, terutama isu-isu sensitif terkait Jokowi pasca pensiun presiden,” ujarnya.
Jika Anies dan Ahok menyatakan hal itu, kemungkinan besar dapat menjadi awal dari deklarasi sebagai simbol oposisi.
Hasto Tuding Ara Cari Kesalah Pake SARA soal Pramono-Rano Digegabut Anies, Prabowo Pasti Mesti Tidak Setuju
Mereka berharap menjadi simbol dari resistensi terhadap pemerintahan yang berkuasa di saat itu.
“Mungkin mereka akan mengambil posisi itu karena keadaan partai oposisi yang lemah saat ini. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat ini tidak berkuasa,” kata Mantan Dekan FIKOM IISIP ini.